Selasa, 19 Mei 2009

ARBITRASE


Pengertian, Tujuan, Subyek dan Obyek Hukum

Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselengarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan ”hakim swasta”.

Apa arbitrase itu? jika dibandingkan dengan mediasi, maka arbitrase ini memberikan suatu putusan berkenaan dengan hak-hak dari pada pihak. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Dewan Abritrase yang bisa secara tunggal maupun terdiri dari beberapa arbitrator. Putusan mereka mengikat para pihak. Prosedur yang dipakai diatur dalam ”WIPO Arbitration Rules”. Para pihak dapat memilih sendiri apa yang mereka kehendaki : seorang arbitrator tunggal atau beberapa arbitrator. Jika tidak terpilih sendiri oleh para pihak, maka menurut ketentuan arbitrase WIPO, WIPO Arbitration Rules akan diangkat seorang abritrator tunggal, kecuali apabila dari keadaan sekitar persoalan bersangkutan, bahwa menurut pusat arbitrase ini perlu diangkat 3 orang arbitrator.

Undang-undang No. 30 tahun 1999 telah dengan tegas menyatakan dan menyebutkan macam-macam perbedaan pendapat, perselisihan paham atau sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya terhadap sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan dan terhadap hak-hak yang menuntut hukum dan perundang-undangan yang berlaku berada dibawah kewenangan para pihak untuk mengatur dan membantuknya. Ini berarti segala macam ketentuan hukum memaksa, yang meskipun berada hukum perjanjian tidak dapat disamping oleh para pihak, dan diatur secara tersendiri untuk diselesaikan melalui arbitrase. Dengan demikian maka sudah seharusnya dan selayaknyalah jika putusan arbitrase yang telah dijatuhkan dan diputuskan yang secara prinsipil bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa yang berlaku di Indonesia, termasuk ketertiban umum.

Sedangkan pengertian arbitrase menurut Rv, arbitrase merukapan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut terselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan mereka angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Hakim-hakim tersebut dikenal juga dengan nama wasit (menurut Rv) atau artiber. Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa arbiter merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata abritrase ini. Dalam pihak ini para pikah berhak dan berwenang untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.
Pasal 615 ayat (1)menguraikan : ”adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seseorang atau beberapa orang wasit”.

Selanjutnya dalam ayat (3) pasal 615 Rv. Ditentukan : ”bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”.

Dari ketentuan Rv tersebut jelas bagi kita bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada orang atau beberapa arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pada pihak yang bersengketa tersebut. Dan bahwa mereka berhak untuk melakukan penunjukan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit. Penunjukan penyelesaian mereka lewat arbitrasesebelum sengketa terbitdilakukan dengan pencantuman klausulaarbitrase dalam perjanjian pokok mereka. Sedangkan penunjuk arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri.

Dalam klausula atau persetujan yang dibuat tersebut, para pihak harus dengan jelas-jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, tata cara apa saja yang ditempuh, bagaimana capar (para) arbiter menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut.

Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Diluar Peradilan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok dapat dilaksanakan arbitrase sebelum berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatsblad 1941;44) atau pasal 705 reglemen acara untuk derah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227). Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pranatanya cukup lengkap dalam ketentuan 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen acara Perdata (Reglement op de rechtsvordering, staatsblad 1847;52) bagi seluruh ketentuan tersebut diatas, yaitu pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad1941;44 ), pasal 705 Reglemen Acara Untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227), dan pasal 615 sampai pasal 651 Reglemen acara perdata (Reglement op de rechtsvordering, staatsblad 187;52) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Arbitrase Menurut Ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peredilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan oleh undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut :
1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian
2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk etrtulis
3. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan umum

Arbitrase Sebagai Salah Satu Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa Tingkat Akhir
Telah kita kita ketahui bahwa menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah hal-hal usaha alterbatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase Ad-Hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhit dan final bagi para pihak.

Kompetisi Absolut
Dalam hukum acara, kita mengenal adanya istilah kompetensi relatif dan kompetisi absolut. Kedua istilah tersebut diatas berhubungan dengan masalah kewenangan dari pranata peradilan atau peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak peradilan yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 kita ketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki ”kompetensi absolut” terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui peradilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau sebuah perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari peradilan (negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang membuat kalusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditanda tangani perjanjian arbitrase oleh para pihak.

Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian
Sebagai salah satu perjanjian, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa :
- Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
- Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa

Syarat Subyektif
Jika kita telah kembali pada definisi yang diberikan, dimana dikatakan bahwa arbitrase adalah suatu cara alternatif penyelesaian sengketa, maka dapat kita katakan bahwa sebagai perjanjian, arbitrase melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mencari penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Untuk memenuhi syarat subyektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak dibatasi untuk subyek hukum menurut hukum perdata melainkan juga termasuk didalamnya subyek hukum publik. Namun satu hal yang perlu dimasukan disini, tidaklah beratri arbitrase dapat mengadili segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase ini sifatnya terbatas. Yang pasti relevansi dari kewenangan para pihak menjadi bagian yang sangat penting bagi para pihak dalam perjanjian arbitrase.

Syarat Obyektif
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase ini diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 1999 yang mana tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tersebut, objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan diluar pengadilan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan ”ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Rv
Undang-undang mensyaratkan bahwa bagi setiap persetujuan arbitrase harus dilakukan secara tertulis, baik notariil maupun dibawah tangan, serta ditanda tangani oleh para pihak. Dalam hal salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat membubuhkan tanda tangannya, maka persetujuan tersebut harus dilakukan secara notariil. Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut juga harus memuat masalah yang menjadi sengketa, nama-nama dan tempat tinggal (kependudukan) para pihak, nama dan tempat tinggal (para) arbiter, dan jumlah arbiter yang harus selalu ganjil. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan tersebut batal demi hukum (pasal 618 ayat (1), (2), dan (3) Rv).

Jenis Arbitrase
Yang dimaksud dengan arbitrase ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan perjanjian. Jenis arbitrase yang diakui dan memiliki validitas, diatur dan disebut dalam peraturan dan berbagai konvensi.
Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek :
1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)
2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)

Disebut juga dengan arbitrase Ad-Hoc atau Volunter Arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan satu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka arbitrase Ad-Hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditemukan oleh undang-undang.

Sedikit berbeda dari arbitrase Ad-Hoc, arbitrase institusional, keberadaannya praktis dan bersifat permanen, dan kkrenanya juga dikenal dengan nama ”permanent arbitral body”. Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh kamar dagang dan industri negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukan diri pada aturan-aturan main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang berlaku masing-masing untuk lembaga tersebut.

Proses Beracara Dalam Arbitrase Menurut Rv

Dalam arbitrase Ad-Hoc, proses beracara dalam arbitrase dapat ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim berlaku, tau jika dikehendaki dapat diikuti prosesberacara pengadilan. Sedangkan bagi arbitrase intitusional, proses beracara dalam arbitrase tersebut biasanya mengikuti proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga arbitrase tersebut

Putusan Arbitrase Dan Pelaksanaannya Menurut Rv
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah dibarikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutuskan menurut kebijaksanaan (ex aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusannya, yang disertai alasan-alasan dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusannya, tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berjejuatan sama dengan dalam putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasak 632 jo pasal Rv)
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena terhitung empat belas hari sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus didaftarkan di kantor panitera pengadilannegeri setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi, jika telah memperoleh perintah dari ketua pengadilan negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut. Selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tata cara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15 undang-undang nomor 1/1950 tantang susunan, kekuasaan, dan jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjikan yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk meminta banding, seperta disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak ersebut dalam klausula atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut dalam (pasal 641 ayat (1) Rv).

Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa merupakan hal yang bagi sebagian orang, kadang kala tahu dibicarakan namun juga seringkali menjadi perdebatan yang hangat dan sengit. Dikatakan tabu, oleh karena secara alamiah tidak ada seorangpun yang menghendaki terjadinya sengketa, apapun bentuk dan macamnya. Walaupun demikian kenyataan menunjukkan bahwa sengketa, bagaimanapun orang berusaha menghindarinya, pasti akan selalu muncul, meski dengan kadar ”keseriusan” yang berbeda-beda. Selanjutnya sengketa akan menjadi hangat dan sengit jika ternyata sengketa tersebut tak kunjung memperoleh penyelesaian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persengketaan tersebut.

Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa sejak dahulu kala, dan sudah menjadi prinsip dasar bagi manusia bahwa mereka selalu menghendaki sesuatu yang serta damai dan tentram dalam hidup mereka. Setiap sengketa atau perselisihan yang terjadi dalam anggota masyarakat pada umumnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat bagi kepentingan bersama. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh dikatakan akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak anggota masyarakat. Selain proses dan jangka waktu yang relatif lama dan berlarut-larut, serta oknum-oknum yang cenderung ”mempersulit” proses pencarian keadilan, peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Dunia usaha seringkali juga, secara langsung atau tidak langsung, merasa ”terpukul” oleh sistem dan cara kerja peradilan yang dianggap kurang tanggap terhadap kebutuhan ekonomi dunia usaha.

Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 6 terdiri dari:
1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk ”negosiasi” (sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut).
2. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral diluar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
3. Penyelesaian melalui arbitrase (pasal 6 ayat (9) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.

Selain pengertian dari ”Arbitrase”, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini tidak dapat diberikan adanya definisi atau pengertian dari apa yang dimaksud dengan/dalam perkataan ”konsultasi, negosiasi, konsiliasi, maupun penilaian ahli”.
Satu hal yang harus dan perlu pula kita catat dan perhatikan ialah bahwa, meskipun Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini disebut dengan ”Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Undang-Undang ini juga mengatur (secara bersama-sama) suatu proses pelaksanaan perjanjian, yang diterjemahkan oleh Undang-Undang ini dalam bentuk pemberian pendapat (”konsultasi) atau penilaian oleh ahli-ahli, atas hal-hal atau penafsiran-penafsiran terhadap satu atau ketentuan yang belum atau tidak jelas, yang antara lain bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa diantara para pihak dalam perjanjian.
Kali ini kita akan jelaskan dan uraikan berbagai pengertian mengenai konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, perdamaian dan pendapat (hukum) lembaga arbitrase.

1. Konsultasi
Merupakan suatu tindakan yang bersifat ”personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan ”klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak ”konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengatakan sifat ”keterkaitan” atau ”kewajiban” untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusannya yang akan diambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Berarti konsultasi sebagai bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tersebut.

2. Negosiasi dan Perdamaian
”Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”. Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dengan ancaman tidak sah.
Negosiasi menurut rumusan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut :
- Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
- Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk ”pertemuan langsung” oleh dan antara para pihak yang bersengketa.

Selain itu perlu dicatat pula bahwa ”negosiasi”, merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sbelum proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sodang peradilan dilaksanakan, baik didalam maupun diluar sidang peradilan (pasal 130 HIR)

Pada umumnya negosiasi merupakan suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan ”pertemuan secara langsung” pada saat negosiasi dilakukan, negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses ”penjajakan” kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan ”kelonggaran” atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditanda tangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak.

3. Mediasi
Menurut rumusan pasal 6 ayat (3) tersebut juga dikatakan bahwa ”atas kesepakatan tertulis para pihak” sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui ”seorang mediator”.

Mediasi jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral atau tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai ”mediator”. Sebagai pihak yang netral, independen dan tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak, mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian, ada satu pola umum yang dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.

Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudia mediator dapat menentukan perkara, ”kekurangan” dan ”kelebihan” dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudia dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.

4. Konsiliasi dan Perdamaian
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat kita temui satu ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 ini yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 PENJELASAN UMUM UNDANG-UNDANG No. 30 Tahun 1999 tersebut.

Konsiliasi tidak beda jauh dari arti perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut pun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.

5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase.
Ternyata arbitrase dalam bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian ”pokok”, melainkan juga dapat memberikan ”konsultasi” dalam bentuk ”opini” atau ”pendapat hukum” atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian. Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya.